Literasi yang Menembus Ruang dan Waktu

Khazanah Fadhilah Nurrahmah
7 min readJun 19, 2024

--

Oleh Khazanah Fadhilah N., S.Si. | Kisah Nyata Dakwah di Era Pandemi

(Telat deadline lomba feature Gr*media, publish sini aja deh…)

Sebutkan tiga kata mendeskripsikan kondisi sebuah perguruan tinggi negeri bergengsi di dekat pusat Kota Bandung empat tahun lalu: sunyi, sepi, suram. Bukan karena libur panjang atau meletus perang dunia ke-3. Namun karena bencana wabah yang disebabkan oleh makhluk tak kasat mata (mikroskopis) yang menaklukkan manusia sedunia, bernama virus Corona atau akrab dipanggil COVID-19 (Corona Virus Desease 2019).

Virus ‘mahkota’ itu seolah benar-benar menjadi raja dunia yang seenaknya menghentikan geliat aktivitas manusia. Siapa sangka dinastinya berlangsung tahunan hingga sekitar tahun 2022, ia masih menyebabkan pandemi, menguasai satu planet Bumi. Tiada sektor sendi-sendi penggerak kehidupan yang tidak terkena imbasnya. Berlakulah new normal.

Termasuk para mahasiswa yang malah mungkin bersyukur, tidak perlu (baca: boleh) pergi ke kampusnya. Aku ingat sekali pengumuman saat itu, serentak perkuliahan tatap muka di kampus sejak 17 Maret 2019 dihentikan. Kampus ditutup ketat, gerbang ditutup, setiap pintu masuk ada satpam berjaga. Belajar dengan metode daring (dalam jaringan) dalam kondisi lockdown di tempat masing-masing.

Para aktivis himpunan mahasiswa, unit, BEM, dan yang ambisius mengejar prestasi pun kehilangan basis fisis kegiatannya di luar jaringan. Meeting hingga main bareng pun wajib via online seluruhnya. Jadilah kampus bagaikan ‘kota mati’, seluas itu hanya diisi oleh satpam dan tenaga pendidik yang punya akses. Maka grup online dan media sosial pun menjadi sarana alternatif interaksi, tanpa harus terpotong waktu perjalanan via tranportasi.

Kemudian setelah sekian bulan beradaptasi dengan kesibukan kuliah online, muncul desas-desus tentang kemunculan suatu bintang penyelamat! Benda langit itu konon menandakan akhir dari wabah corona. Aku sebagai mahasiswi jurusan Astronomi tentu merasa terpanggil, objek yang dipelajarinya jadi sorotan. Lebih-lebih setelah mengetahui bahwa sumber dari berita itu adalah seorang ulama Muslim atau ustaz yang menafsirkan sebuah hadits. Jiwa aktivis dakwahku pun bergolak.

Perkenalkan kembali, namaku Khaza. Selain kuliah tingkat 3, aku memegang amanah sebagai penanggung jawab (PJ) Syi’ar Media dari Lembaga Dakwah Program Studi Astronomi ITB bernama An-Najm. Inilah wadah gerak untuk Keluarga Mahasiswa Muslim di jurusanku berkiprah, menjaga kecerdasan spiritual atau rohani para anggota di dalamnya tetap sehat selama kuliah. Sesuai slogan ITB ‘In Harmonia Progressio’, mahasiswa harus menjaga setiap aspek kecerdasannya tetap seimbang, kecerdasan intelektual, spiritual, dan emosional. Setuju?

Kembali lagi ke kasus bintang bermasalah itu. Disebutkan bahwa ‘Bintang Tsurayya, Penanda Berhentinya Wabah Corona’ itu terbit antara Mei-Juni 2020. Bagaimana latar belakang pihak yang menafsirkan hadits itu? Ternyata beliau bukan ahli di bidang ilmu falak atau bahkan astronomi secara umum.

Jika direnungkan dengan logika, tak masuk akal tiba-tiba virus itu lenyap tanpa bekas dari para manusia yang jadi inangnya. Kecuali mendadak terjadi bencana radiasi nuklir atau sinar kosmik menembus atmosfer skala global, itu mungkin saja dengan catatan sang manusia juga ikut bermutasi atau mati. Maka penting bagi pakar yang ahli di bidang sains dan tafsir hadits untuk mempelajari hubungan dua fenomena tersebut lebih jauh sebelum didengar publik.

Aku membayangkan ke depan, kalau umat Muslim benar-benar memercayai pendemi akan berakhir bulan depan, dampak apa yang terjadi? Sunggu berbahaya kalau sampai ada berani berkeliaran tanpa protokol kesehatan, dengan berdasar pemahaman dangkal akan sebuah teks suci. Lantas tanpa sadar malah memperparah penularan Corona, kerukunan umat beragama mungkin bisa terancam.

Ini isu perpaduan sains dan agama yang cukup sensitif! Karena memberikan harapan akan keselamatan umat manusia, terbebas dari wabah virus yang menyiksa itu.

Ternyata aku tidak bisa diam saja terhadap isu ini. Semua berharap wabah Corona segera sirna, tapi bukan berarti hanya dengan menunggu munculnya fenomena astronomis biasa. Inilah tugasku sebagai mahasiswa muslim astronomi, untuk meluruskannya, batinku.

Lantas aku mengajak rekan-rekan pengurus di grup An-Najm 2019, pandemi menghambat kami melakukan regeneresi pengurus, “Gaes, siapa lagi yang bisa bahas kasus kaitan tafsir hadits dan objek langit selain Muslim astronomi?? Ini panggilan untuk kita, ayo kita buat kajiannya!”

Sayang momentumnya sedang kurang pas, saat itu mahasiswa ITB baru saja selesai UAS, “Punten, saya butuh liburan habis stress kuliah online nih, Za!” jawab Rifaldi yang juga bagian media.

“Aku juga pulang kampung, butuh arahan poster yang detail kalau mau bantu dibuatkan. Nggak bisa kalau kontennya belum dirangkum, Khaza,” konfirmasi Aliyya sang poster maker. Aku menghela napas, kami memang kekurangan SDM. Hanya aku yang mengerjakan bagian literasi dan content creator, belum termasuk merangkum. Aku memahami tekanan yang dirasakan anak desain grafis yang serba disuruh-suruh. Syukurlah setidaknya mereka masih mengabari, lebih dari separuh pengurus lain tidak merespon ajakanku.

Aliyya namun memberikan alternatif, “Ambil gambar objeknya dari software Aladin Strasbourg saja, Za. Jadi pemanis saja di Instagram, tunjukkan kekuatan utama kontennya lewat tulisanmu.”

Maka dimulailah liburan semesterku di Bekasi dengan kajian astronomi otodidak.

***

Pernyataan ulama atau ustaz itu membahas hadits Nabi tentang terbitnya bintang Tsurayya, nama Arab dari gugus Pleiades atau di Indonesia disebut Lintang Kartika. Bagi masyarakat yang awam, berita terangkatnya wabah penyakit dari muka Bumi ini berdasarkan dasar hukum Islam itu tentu hanya menuntut keimanan. Bahkan ustaz itu juga menukil argumen dari ulama-ulama besar terdahulu, sampai artikelnya pun terbit di koran besar.

Strategiku untuk meng-counter argumen itu adalah dengan studi literatur dari aspek keilmuan yang masih lemah. Yakni dari sudut pandang ulama kontemporer dan astronom profesional. Dari sisi ilmu astronomi, aku mensimulasikan posisi lintang dan bujur Pleiades dengan software observasi bernama Stellarium. Ternyata benar, bintang tersebut memang terbit di kurun waktu awal Juni di ufuk Timur Indonesia. Namun dari sisi agama, setelah menelaah banyak sumber tafsir hadits, akhirnya aku menemukan sebuah titik terang.

Wabah yang dimaksud hadits tersebut sesungguhnya adalah wabah hama pada tanaman kurma! Karena secara astronomis, bintang Tsurayya atau Pleiades terbit di tanah Makkah pada bulan Juni, pada saat Rasulullah Muhammad SAW. mensabdakan hadits tersebut. Bintang itu menjadi penanda masuknya musim panen buah kurma setelah usai masa mewabahnya hama.

Jadi, dari fakta sejarah dan pengamatan astronomi, dapat disimpulkan bahwa terbitnya bintang ini merupakan fenomena tahunan sejak 14 abad silam. Bukanlah penampakan yang spesial atau eventual di masa pandemi ini. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengiyakan bahwa hadits tersebut merujuk ke wabah pada tanaman bukan manusia. Ada ancaman dosa bagi Muslim yang memercayai tafsiran yang salah atau ‘kebohongan’ akan hadits Nabi.

Hasil kajian ini dipublikasikan menjadi beberapa post di Instagram @annajmitb pada Juni 2020 lalu. Pertama berjudul ‘Belajar dari Isu Tsurayya’ (Part 1–3) dan kedua di hari H terbitnya sang bintang di Indonesia 10 Juni 2020 berjudul ‘Tsurayya Terbit dengan Indahnya, Corona?’. Meskipun dengan segala keterbatasan gambar seadanya karena aku tidak bisa mendesain poster, fokus perkuat caption lebih detail dengan susunan kata yang menarik.

Setelah rampung, post kajian studi literatur di Instagram An-Najm berdasarkan berbagai referensi valid dan bisa dipertanggung jawabkan, kusebarkan ke grup mahasiswa astronomi. Sedikit banyak ada yang membagikannya ke grup lain dan terutama keluarga masing-masing.

Alhamdulillah aku bisa sedikit berkontribusi mewakili An-Najm Muslim Astronomi ITB, menyadarkan sedikit masyarakat awam via media sosial. Inilah dedikasiku yang berlatar belakang sebagai calon astronom profesional, mencerahkan pemikiran segenap umat Muslim Indonesia dari salah tafsir yang berbahaya.

Tentunya aku ingin mempublikasikan kajian ini lebih masif. Kebetulan pengurus angkatanku dari Himpunan Mahasiswa Astronomi (HIMASTRON) ITB sedang menginisiasi proyek majalah astronomi populer bertajuk Analema. Aku memahaminya sebagai fenomena kolase posisi Matahari yang membentuk angka delapan, merangkum kegiatan H* (singkatan HIMASTRON) dan fenomena astronomi lainnya dalam satu tahun.

Segala ceritaku untuk mengkaji bintang Tsurayya kuramu menjadi sebuah cerita pendek, agar tidak terlalu berat. Akan tetapi untuk majalah ilmiah publik, tema yang kubahas itu masih tetap sensitif. Bisa ditebak, ditolaklah cerpenku itu. Tak masalah, aku pun menyesuaikan dan membuat cerpen lainnya yang lebih santai tentang meme astronomi kala pandemi. Selengkapnya cerpenku di majalah ini bisa dibaca versi digitalnya di platform Issuu.

Analema Edisi 2020 by HIMASTRON ITB — Issuu

Setahun kemudian…

Pandemi Corona masih berlangsung. Aku sudah memasuki tingkat 4 kuliah, mengambil mata kuliah ‘jajan’ ke jurusan lain. Salah satunya bernama Teknik Komunikasi Ilmiah (TKI). Hanya aku mahasiswa Astronomi yang mengambilnya di tengah puluhan anak jurusan Biologi. Silabusnya memang menarik, cukup dengan dua SKS, aku dengan pede mengikutinya. Tak terasa sudah akhir semester…

“Untuk UAS, saya ingin Anda semua membuat tulisan opini atau apapun terkait keilmuan Anda untuk diterbitkan ke media cetak. Siapapun yang berhasil lolos dan misal karyanya tampil di surat kabar akan otomatis mendapat nilai A,” urai bapak dosen. Sepertinya setiap peserta yang mendengar pengumuman ini di layar kaca masing-masing langsung heboh, termasuk aku. Aku yang memang hobi menulis, antusias sekali mendapat tantangan tugas ini!

Berhubung aku masih punya cerpen setahun lalu yang kurang terpublikasi, bagaimana kalau kurevisi dan kukirim kembali ke berbagai media cetak? Pikirku. Terkirimlah cerpenku yang sudah diperbaharui ke belasan email media cetak, dari majalah dan berbagai koran besar. Kemudian aku hanya bisa menunggu, sambil menghadapi UAS mata kuliah lainnya sekaligus menyusun Tugas Akhir atau skripsi.

Suatu hari di akhir November, akhirnya aku menemukan notifikasi di email:

Dari: Sekretariat Republika

Aku terlonjak! Melompat kegirangan, namun tetap tak lupa bersyukur. Benar saja, sepekan setelah email itu, aku menemukan cerpenku terpampang nyata di kolom Sastra halaman 11 koran Republika. Berkat perpustakaan Salman Reading Corner yang berlangganan, aku bisa langsung mengecek hasil tulisanku.

Selengkapnya baca di bit.ly/CerpenKhaza

Segera saja kukabarkan kepada dosen mata kuliah TKI akan kabar baik ini. Keluarga maupun teman-temanku pun turut menyelamati. Setelah setahun berlalu dari fenomena bintang pengusir wabah, cerpen tentang keresahanku ini terbit ke khalayak umum. Memang isu itu sudah mereda dan tidak membawa bahaya. Kini aku lebih bahagia karena karya fiksiku yang tetap berusaha menampilkan aspek ilmiah dipublikasikan luas.

Kuharap tulisan ini bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat untuk lebih cermat menyimak informasi tentang keilmuan yang tidak mereka geluti. Lebih khusus semoga umat Muslim Indonesia lebih memahami kaitan fenomena astronomis dan kejadian sehari-hari di sekitarnya.

Namun sebenarnya, prinsip ini berlaku global, tak hanya di Indonesia tapi juga seluruh belahan dunia. Sains sebagai fakta ilmiah di lapangan, dilengkapi tafsir atau pemahaman murni dari ilmu agama, menghasilkan perpaduan tiada dua yang akan menyatukan umat manusia.

-TAMAT-

--

--