Apa Guna Memaafkan?

Khazanah Fadhilah Nurrahmah
5 min readJun 1, 2021

--

Ritual, tradisi, atau ibadah. Dari ketiga hal itu, acara maaf-memaafkan, halal bihalal, sungkeman, dan nama-nama lain semacamnya, termasuk ke yang mana? Setiap lebaran Idul Fitri hampir selalu dilakukan di semua acara kumpul keluarga. Namun daripada sekedar ucapan dan peluk-cium tangan, apa kalian tahu esensi sebenarnya dari minta maaf dan memaafkan?

Mungkin sejak di bangku kuliah, sejak berpikir lebih bebas dan menentukan segala sesuatu sendiri, aku merasa perbuatan meminta maaf (yang sudah kita ketahui bahwa itu adalah perbuatan terpuji), bisa menjadi perbuatan munafik…

Kok bisa? Bisa dong, ketika seseorang itu tidak menyadari perbuatan salah apa yang ia lakukan, kemudian ia meminta maaf, tapi diulanginya kembali tanpa merasa berdosa. Mirip orang munafik yang berbohong, ketika kata-kata dan perbuatannya berbeda bukan?

Jika aku seseorang yang temperamental, orang itu pasti sudah kuteriaki ‘TIDAK TAHU DIRI’. Minta maaf tapi diulangi lagi, macam kena gertak sambal… Namun seringkali aku bersabar, lebih banyak mendoakan ia dapat hidayah dari-Nya. Sebagai korban, aku merasa lelah, jengkel terhadap orang yang melakukan kesalahan yang sama lalu meminta maaf berulang kali. Tidak semudah itu, Ferguso.

Gak masalah, kita aja yang sabar, dia juga minta maaf lagi tahun depan’ Apakah kalian ada yang berpikir demikian?

Seolah rasanya maaf itu murah dan mudah didapat. Meremehkan betapa beratnya sebuah permintaan maaf. Padahal luka hati karena tersakiti itu lebih banyak yang sulit disembuhkan tanpa bekas. Mereka yang bisa memaafkan itu sungguh orang yang hebat. Berjiwa ‘kaya’, lapang.

Benar memang ciri-ciri orang bertaqwa itu selalu memohon ampun kepada-Nya walau berulang kali berbuat dosa (meskipun berbeda-beda, belum tentu dosa yang sama). Seperti salah satu nama-Nya, Allah memang Maha Pengampun. Juga Maha Penyabar, tak terhingga luas lautan kesabarannya. Sementara kita, manusia kecil tak berdaya? Bisa saja punya rasa maaf dan sabar tiada batas, tapi kalau aku sendiri capai melakukannya. Belum sanggup.

Selain itu aku justru merasa kasihan, sang pelaku dosa itu menggali dan menutup lubang dosanya tanpa henti. Kau bisa menjamin, sebelum lubang kuburnya sendiri yang tertutup, ia selalu sempat menutup lubang dosanya alias meminta maaf kepadamu? Malaikat Izra’il atas kehendak Allah tidak pandang bulu mancabut nyawamu, mau saat BAB atau main TikT*k kapanpun itu.

Jadi, sudah berpikir ulang untuk membiarkan perbuatan bathil orang lain?

Di sini fungsi saling mengingatkan menjadi penting, amar ma’ruf nahi munkar. Di satu sisi aku mengingatkan karena tak mau lagi jadi korban si pelaku berbuat munkar, membela diri dari kezhaliman itu sah-sah saja kok. Namun sekaligus bisa menyelamatkan orang itu sebelum tergelincir ke lubang dosa yang sama.

Nah, perkara niat ini juga penting. Harus kita ingat baik-baik niat itu harus selalu karena Allah agar mendapat berkah dan lindungan-Nya. Jangan sampai merasa sombong dan jumawa akan mejadi ‘penyelamat’ seseorang dari dosa #selfreminder .

Lain lagi jika orang tersebut memang kolot, merasa perbuatannya benar. Ciri orang naif, fasiq, maka diamkan saja dan berlindung dengan berdoa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Maka, fokus utama dalam perkara muamalah ini adalah bagaimana cara kita mengingatkan sesama manusia. Takkan berhasil jika ‘berlian’ dilempar keras-keras ke wajah si pelaku, bukan disodorkan dengan lembut. Bisa jadi dia malah tidak mau kalah karena terbawa emosi pula. Lembutlah dalam menegur seperti yang dicontohkan Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alayhi wa salam. Perlu diperhatikan juga situasinya, jangan mempermalukan si pelaku di tempat umum. Memang lebih baik bicara empat mata.

Oke, sekarang anggap proses mengingatkan sudah kita jalani dengan baik. Hasilnya? Tetap Allah yang memutuskan, sebagai Penguasa Mutlak seluruh hati manusia. Jika berhasil, harapan kita si pelaku akan meminta maaf dengan tulus dan tidak mengulangi kemunkarannya lagi.

Pertanyaan di awal pun bisa kita jawab. Menurutku, esensi dari meminta maaf adalah memohon belas kasih seseorang sehingga hubungan di antara kita dan dia kembali seperti sedia kala. Akan tetapi ada yang kurang… Seharusnya pelaku mengakui perbuatan salah yang mana yang dilakukan agar jelas perbuatan itulah yang tidak boleh ia ulangi kembali. Sempurnalah permintaan maaf itu.

Sayangnya di masa kini, bahkan mungkin aku sendiri, menempuh cara instan untuk meminta maaf. Cukup dengan ‘minta maaf atas segala salah kata dan perbuatan dulu’, segala macam perbuatan salah secara umum, general, ‘bisa dimaafkan’. Apa cara ini salah? Tidak juga, karena itu peran si korban juga penting untuk lebih aktif.

Di sisi lain, tentang memaafkan (lagi-lagi menurutku) adalah berlapang dada atas perbuatan buruk yang kita terima di masa lalu tanpa keinginan membalas perbuatan yang sama kepada pelakunya. Oke itu definisi umum, makna luasnya berarti mengikhlaskan, melepas segala benci, dendam yang menyumbat (menjadi sumber penyakit)di hati dan akhirnya memperoleh ketenangan hakiki. Kita pun memudahkan perhitungan amal si pelaku di akhirat, membantu menghapus dosanya.

Sungguh itu perbuatan yang terpuji… Aku pun teringat sampai mata ini berkaca-kaca, kisah Rasulullah dalam memaafkan orang yang kurang ajar terhadapnya. Dahulu orang itu selalu meludahi (riwayat lain bilang melempar kotoran) Sang Rasul setiap kali melintas di sebuah jalan. Rasulullah diam saja tanpa menunjukkan amarah diperlakukan demikian, terus berulang-ulang, beliau mendiamkan tanpa bertanya kenapa atau mendakwahi si pelaku. Namun di suatu waktu, orang itu tidak di tempatnya dan melakukan kebiasaannya. Kalau kita mungkin refleks ucap ‘alhamdulillah, akhirnya taubat juga orang itu’, Rasulullah tidak! Beliau justru mencari kabar orang tersebut, ia ketahui bahwa si pelaku jatuh sakit di rumahnya.

Wah, kalau kita mungkin berpikir ‘syukurin, dapat balasan lo! Moga jera deh,’. Kalian yang belum tahu kisah ini bisa menebak yang dilakukan Rasulullah? Beliau malah menjenguk pesakitan ke rumahnya! Sama kagetnya dengan kita, orang tersebut tak menduga, Rasul yang setiap hari ia ludahi datang mendoakan kesembuhannya dengan tulus dan senyuman, tanpa dendam atau niat jahat apapun. Hasilnya, orang yang semula kafir itu tersentuh dengan akhlak Rasulullah yang sangat pemaaf dan penyabar, dan memutuskan memeluk Islam…

Subhanallah… Maasya Allah… Ketika menulis paragraf di atas mataku kembali berkaca-kaca, Kawan. Heran dan sekaligus takjub kuungkapkan mendengar kisah ini, sudah bertahun-tahun lamanya sehingga aku lupa darimana sumbernya. Internet bisa membantu kalian menemukan kisah ini lebih lengkap insyaa Allah. Huuft… Apakah kita bisa seperti beliau? Bersenjatakan akhlak saja, mampu membuat orang lain taubat. Namun tidak dijelaskan apakah orang tersebut kemudian meminta maaf atau tidak, tapi… Bisa dibilang karena Rasulullah sudah memaafkan, memaklumi duluan bahwa orang itu tidak mengetahui kebenaran risalahnya, permintaan maaf pelaku tidak lagi diperlukan. Toh, dengan masuk islam, timbangan dosanya bersih dari nol kembali.

Hal terpentingnya adalah, Rasulullah membiarkan perbuatan tercela orang itu, sampai ada peristiwa jatuh sakit. Beruntung Allah belum mewafatkan dan memberi kesempatan berislam. Alasan Rasulullah mendiamkan bisa diterima, ketika ditanya, beliau menjawab, “Aku yakin, engkau meludahiku karena engkau belum mengetahui kebenaranku. Jika engkau mengetahuinya, aku yakin engkau tidak akan lagi melakukannya.”

Bagaimana dengan kasus kita sehari-hari? Memang ada banyak faktor untuk dipertimbangkan: timing, kepentingan, seberapa sabar kita jadi korban, sifat si pelaku dan lain-lain. Istilahnya, untuk menyadarkan seseorang, kita harus ‘main cantik’. Koridornya sudah cukup jelas, sesuai syari’at Islam. Ikhtiar maksimal dahulu, baru terakhir pasrah mendoakan hidayah untuknya.

Baiklah, mungkin itu segenap keresahan dari hatiku terkait kata ‘maaf’. Semoga mencerahkan, aku senang sekali jika kamu menanggapi atau mengajak diskusi, Kawan. Terima kasih, and may Allah always blessed us.

Referensi: https://umma.id/post/bikin-haru-kisah-mualaf-seorang-nenek-yang-suka-meludahi-rasulullah-saw-665625?lang=id

--

--